
Pada 20 Maret 1602, Belanda mendirikan kongsi dagang bernama VOC di Indonesia. Belanda memiliki alasan mengapa mengapa mendirikan VOC. Pertama, menghilangkan persaingan yang merugikan pedagang Belanda. Kedua, menyatukan tenaga untuk menghadapi persaingan dengan bangsa Portugis dan pedagang-pedagang lainnya. Ketiga, mencari keuntungan yang sebesar-besarnya untuk membiayai perang melawan Spanyol.
Berjalannya waktu, Belanda memainkan politik kotornya yang membuat mereka terlibat konflik dengan Raja-Raja di Nusantara. Belanda melalui VOC menyerang kerajaan-kerajaan yang tidak mau tunduk patuh kepadanya. Setelah menguasai banyak daerah strategis di Jawa dan sekitarnya, ekspansi Belanda berlanjut ke daerah Sumatera. Di ujung Sumatera terdapat lokasi strategis tempat pusat perdagangan, wilayah itu berada di Selat Malaka yang dikuasai oleh Kesultanan Aceh.
Keadaan Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh merupakan kerajaan Islam yang berdaulat. Umat Islam di sana bebas beraktivitas ibadah dalam segala aspek kehidupan. Di dalam buku Tinta Emas Sejarah (2017), karya Rachmad Abdullah, Kesultanan Aceh mendapatkan pengakuan dari Syarif Makkah atas nama Khilafah Turki Utsmani (Ottoman). Kesultanan Aceh juga telah lama menjadi tempat berlabuh bagi jama'ah haji untuk seluruh Nusantara.
Orang-orang yang naik haji ke Mekkah dengan kapal laut, sebelum mengarungi samudera, mereka akan tinggal beberapa bulan di Banda Aceh. Itulah mengapa Aceh mendapat julukan "Serambi Mekkah" (hlm.512). Kesultanan Aceh juga memiliki perkebunan lada yang luas, serta olahan hasil bumi lainnya seperti hasil tambang dan hasil kehutanan.
Dikutip dari buku Api Sejarah Jilid Kesatu Edisi Revisi (2014) yang ditulis oleh Ahmad Mansur Suryanegara, Kesultanan Aceh memiliki posisi geografis sebagai gerbang jalan niaga laut yang menghubungkan Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Cina (hlm. 261). Hal tersebut membuat Belanda sangat berambisi untuk menguasai Aceh karena tempatnya yang strategis dan hasil buminya yang melimpah.
Siasat Belanda untuk menyerang Aceh
Sultan Aceh bersama rakyatnya tentu akan berjuang mempertahankan kedaulatan Aceh. Semangat mereka memang secara resmi didukung dan dibenarkan akibat adanya Traktat London tanggal 17 Maret 1824 M. Traktat London itu adalah hasil kesepakatan antara Kerajaan Inggris dengan Kerajaan Belanda yang isinya antara lain bahwa Kerajaan Belanda setelah mendapatkan kembali tanah jajahannya di Kepulauan Nusantara, tidak dibenarkan mengganggu kedaulatan Kesultanan Aceh.
Traktat London tersebut menjadi penghalang bagi Kerajaan Protestan Belanda untuk menguasai Kesultanan Aceh. Akan tetapi secara geografis-politis, Belanda merasa diuntungkan karena kekuatan Kerajaan Anglikan Inggris tidak lagi sebagai penghalang. Terlebih lagi pada tahun 1825 M Kerajaan Anglikan Inggris sudah daerah yang berada di Sumatera Utara yaitu Sibolga dan Natal kepada Belanda (Rachmad Abdullah, 2017:513).
Belanda tidak terburu-buru dalam menyerang Aceh, mereka hanya perlu menunggu waktu yang tepat. Rachmad Abdullah (2017:513-514) menjelaskan bahwa Belanda mulai menerapkan politik adu domba, dan juga mulai bergerak di wilayah perairan Aceh. Belanda sering menemukan para bajak laut yang mengganggu kapal-kapal asing yang sedang berlayar di perairan Aceh dan Selat Malaka.
Dengan alasan menjaga keamanan kapal-kapal yang sering diganggu oleh para bajak laut, maka Belanda berupaya menduduki beberapa daerah seperti Baros dan Singkel. Gerakan menuju aneksasi terus diintensifkan. Di sisi lain, pihak Belanda menyodorkan perjanjian dengan Kesultanan Siak, Sultan Ismail pada tanggal 1 Februari 1858.
Perjanjian inilah yang kemudian dikenal dengan Traktak Siak yang isinya bahwa Siak mengakui kedaulatan Hindia Belanda di Sumatera Timur. Hal ini berakibat pada daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh Siak seperti Deli, Asahan, Kampar, dan Indagiri berada di bawah dominasi Hindia Belanda. Padahal daerah-daerah itu sebenarnya berada di bawah perlindungan Kesultanan Aceh. Hal ini tentu mendapatkan kecaman dari Kesultanan Aceh.
Detik-detik menuju deklarasi perang
Permainan politik Belanda terus berlanjut. Ahmad Mansur Suryanegara (2014:262) memberikan penjalasan mengapa Belanda dan Inggris terus melakukan kerja sama. Kedua kerajaan imperialis Barat tersebut memiliki kekuatan senjata dan armada perang serta memiliki persamaan agama, yaitu Protestan. Hal ini bertujuan mempermudah Belanda dalam melancarkan invasi serdadunya ke Aceh.
Pada 2 November 1871, Belanda membuat kesepakatan dengan Inggris yang dikenal dengan Traktat Sumatra. Belanda diberi keleluasaan untuk memperluas daerah kekuasaan di seluruh Sumatra, sementara Inggris diberi kebebasan untuk berdagang di daerah Siak. Kesultanan Aceh melihat hal itu menjadi ancaman bagi mereka.
Dalam rangka memperkuat kekuatan, pada tahun 1873 M, Kesultanan Aceh kemudian mengirim utusan ke Turki yang diwakili oleh Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan apabila Belanda menyerang Aceh. Kesultanan Aceh juga mengadakan kontak dengan negara-negara lain seperti Italia dan Amerika Serikat.
Langkah-langkah Kesultanan Aceh ternyata diketahui oleh pihak Belanda. Belanda pun mengancam dan mengultimatum supaya Aceh tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Kesultanan Aceh tidak menghiraukan ultimatum itu. Karena dinilai membangkang, maka pada tanggal 26 Maret 1873, Kerajaan Protestan Belanda melalui Komiaris Nieuwenhuijzen mengumumkan perang terhadap Kesultanan Islam Aceh (Rachmad Abdullah, 2017:512).
![]() |
Pasukan Aceh | Doc. image source by an-najah.net |
Hidup mulia atau mati syahid adalah slogan dahsyat yang digaungkan oleh pejuang Aceh dalam menghadapi kezhaliman kaum imperialis. Sultan Alauddin Mahmud Syah II memimpin pasukan Aceh pada babak pertama melawan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Harmen Rudolf Köhler. Kesultanan Aceh mulai mempersiapkan diri dalam menghadapi serangan Belanda.
![]() |
Benteng Kuta Lubok Aceh Besar | Doc.photo by situsbudaya.id |
Dengan total 3.000 serdadu disiagakan di pantai dan 4.000 tentara lainnya ditempatkan di lingkungan istana. Senjata dari luar sebagian juga telah berhasil dimasukkan Aceh seperti 5.000 peti mesiu dan sekitar 1.394 peti senapan (Rachmad Abdullah, 2017:514-515). Dengan begitu, Aceh sudah siap untuk menghadapi pasukan Belanda.
comment 0 komentar
more_vert1. Dilarang Spam
2. Berkomentarlah yang baik
3. Dilarang menggunakan kata komentar dengan kata kasar atau sebagainya
4. Harap untuk tidak menyebarkan link yang membuat spam, rusuh. unsur porno, sara, dan sebangsanya
5. Komentar harus sesuai dengan isi artikel
*Jika ingin bertanya di luar topik, silahkan klik menu Off Topic